NASIONALISME REVOLUSIONER
Status kemahasiswaan hanya berlaku untuk jangka waktu yang singkat, tidak seperti buruh. Ia bisa menetap di universitas selama empat, lima, enam tahun, dan tidak ada yang dapat memperkirakan apa yang terjadi setelah ia meninggalkan universitas. Saya sekaligus ingin menjawab salah satu argumen demagogis yang telah digunakan untuk perlawanan mahasiswa. Dengan nada sinis mereka mengatakan: “Siapa mahasiswa-mahasiswa itu? Hari ini mereka berontak, besok mereka akan menjadi bos yang menindas kita. Kita tidak perlu memperhitungkan aksi-aksi mereka dengan serius.”
Ini adalah argumen yang tolol karena tidak mempertimbangkan transformasi revolusioner dari peranan lulusan universitas sekarang ini. Jika mereka melihat angka-angka statistik, maka mereka akan tahu bahwa hanya sebagian kecil dari lulusan universitas yang bisa menjadi kapitalis atau agen-agen langsung dari para kapitalis ini. Apa yang mereka khawatirkan mungkin saja menjadi kenyataan jika jumlah lulusan itu hanya 10.000, 15.000 atau 20.000 orang dalam satu tahun. Tapi sekarang ada satu juta, empat juta, lima juta mahasiswa, dan tidak mungkin kebanyakan dari mereka akan menjadi kapitalis atau manejer perusahaan karena tidak ada lowongan sebanyak itu untuk mereka.
Argumen demagogis ini ada benarnya. Lingkungan akademis memang memiliki konsekuensi tertentu terhadap tingkat kesadaran sosial dan aktivitas politik seorang mahasiswa. Selama ia tetap di universitas, maka lingkungannya mendukung aktivitas politik. Ketika ia meninggalkan universitas, lingkungan ini tidak ada lagi di sekelilingnya, dan ia makin mudah ditekan oleh ideologi dan kepentingan borjuasi atau borjuasi kecil (petty-bourgeoisie). Ada ancaman bahwa ia akan melibatkan dirinya dalam lingkungan sosial yang baru ini, aapapun bentuknya. Ada kemungkinan terjadinya proses mundur ke posisi intelektual reformis atau liberal kiri yang tidak lagi berhubungan dengan aktivitas revolusioner.
Penting untuk mempelajari sejarah SDS Jerman, yang dalam hal ini adalah gerakan mahasiswa revolusioner yang paling tua di Eropa. Setelah dikeluarkan dari kalangan Sosial Demokrat Jerman sembilan tahun yang lalu satu generasi mahasiswa SDS yang militan meninggalkan universitas. Setelah beberapa tahun, dengan tidak adanya organisasi revolusioner, kebanyakan orang-orang militan ini, terlepas dari keinginan mereka untuk tetap teguh dan menjadi aktivis sosialis, tidak aktif lagi dalam politik dari sudut pandang revolusioner. Jadi, untuk memelihara kelanjutan aktivitas revolusioner ini, kita harus punya organisasi yang lebih luas jangkauannya dari organisasi mahasiswa biasa, sebuah organisasi di mana mahasiswa dan bukan mahasiswa dapat bekerja sama. Dan ada alasan yang lebih penting lagi, di balik kepentingan kita memiliki satu organisasi partai. Karena tanpa organisasi semacam itu, tidak akan dapat dicapai kesatuan aksi dengan kelas buruh industri, dalam pengertian yang paling umum sekalipun. Saya tetap yakin bahwa tanpa aksi kelas buruh tidak akan mungkin masyarakat borjuis ini ditumbangkan dan itu berarti tidak mungkin juga dibangun masyarakat sosialis.
Di sini sekali lagi kita lihat bagaimana pengalaman gerakan mahasiswa, pertama di Jerman, lalu Prancis dan Italia, sudah berhasil mencapai kesimpulan teoretis tersebut dalam praktek. Diskusi yang sama tentang relevan atau tidaknya kelas buruh industri bagi aksi revolusioner dilakukan setahun atau bahkan enam bulan yang lalu di negara-negara seperti Jerman dan Italia.Masalah ini ditempatkan dalam praktek bukan hanya oleh peristiwa revolusioner selama Mei-Juni 1968 di Prancis, tapi juga oleh aksi bersama mahasiswa di Turin dengan buruh Fiat di Italia. Ini juga diperjelas dengan usaha-usaha sadar dari SDS Jerman untuk melibatkan bagian dari kelas buruh di dalam agitasi mereka di luar universitas menentang perusahaan penerbit Springer dan kampanyenya dalam mencegah diberlakukannya undang-undang darurat yang akan mencegah kebebasan sipil.
Hal yang diungkapkan di sini adalah bagaimana mahasiswa dapat mendekati buruh, bukan sebagai guru, karena buruh tentunya menolak hubungan seperti itu, tapi dengan cara masuk ke dalam lapangan kepentingan yang sama. Terutama diuraikan masalah organisasi partai. Selain pengalaman kalah beberapa kali untuk membangun kolaborasi di tingkat rendahan dalam aksi-aksi langsung antara sejumlah kecil mahasiswa dan sejumlah kecil buruh, setelah tiga sampai delapan bulan, persekutuan itu akan hilang. Bahkan jika kalian memulai lagi dari awal, dan saat keseimbangan sudah tercapai, maka sedikit saja yang tersisa.
Kegunaan organisasi nasionalis revolusioner yang permanen adalah untuk menyediakan integrasi timbal balik antara mahasiswa dan perjuangan kelas buruh oleh para pelopornya secara terus menerus. Ini bukan sekadar kesinambungan yang sederhana dalam batas waktu tertentu, tapi sebuah kelanjutan ruang antara kelompok-kelompok sosial yang berbeda yang memiliki tujuan nasionalis revolusioner yang sama. Kita harus kritis melihat apakah integrasi seperti ini memang mungkin secara obyektif. Melihat pengalaman di Prancis, Italia, dan sejumlah negara Eropa Barat lainnya, maka dengan mudah kita bisa bilang ya. Dan garis inipun dapat dipertahankan di Indonesia. Dengan alasan-alasan historis masa lalu seputar pemberontakan Partai Komunis, sebuah situasi khusus muncul di Indonesia di mana mayoritas kelas buruh, belum menerima gagasan sosialis tentang aksi revolusioner. Ini fakta yang tidak dapat ditandingi.
Tentu saja hal ini dapat berubah. Sejumlah orang berpendapat seperti itu di Prancis, hanya beberapa minggu sebelum tanggal 10 Mei 1968. Namun, bahkan di Indonesia, ada minoritas dalam kelas buruh industri yang penting, yaitu buruh-buruh yang telah memiliki kesadaran intelektual akan perlunya sebuah gerakan revolusioner untuk merubah keadaan. Di sini paling tidak ada kemungkinan langsung terjadinya kesatuan antara teori dan praktek di sebagian kalangan kelas buruh.
Sebagai tambahan, kiranya penting untuk menganalisa kecenderungan sosial dan ekonomi yang dalam jangka panjang akan mengguncang ketidakpedulian politik yang platen dan konservatisme kelas buruh mayoritas. Yaitu penurunan tingkat ekonomi, dan serangan dari pengusaha terhadap struktur serikat buruh tradisional dan hak-hak dapat menciptakan ketegangan sosial yang mampu mengubah banyak hal.
Tugas kita sebagai mahasiswa adalah menyadari bahwa kita harus bergabung dengan buruh. Diantara sekian banyak saluran tempat kesadaran sosialis dan aktivitas revolusioner dapat menghubungkan mahasiswa dan buruh, seperti ditunjukkan bukan hanya oleh Eropa Barat tapi juga oleh Jepang. Rangkaian penghubung ini adalah pemuda dari kalangan kelas buruh. Sebagai konsekuensi dari perubahan teknologi selama beberapa tahun terakhir yang mempengaruhi struktur kelas buruh, sistem pendidikan borjuis tidak dapat mempersiapkan buruh-buruh muda, atau sebagian dari buruh muda ini, untuk memainkan peran baru dalam teknologi yang telah berubah bahkan dari sudut pandang para kapitalis sendiri. Amerika Serikat adalah contoh yang jelas tentang kehancuran total dari pendidikan bagi buruh muda berkulit hitam yang tingkat penganggurannya sama tinggi seperti tingkat rata-rata pengangguran seluruh kelas buruh di masa depresi. Kenyataan ini memperlihatkan apa yang tengah terjadi di kalangan pemuda kulit hitam negeri itu. Ini hanyalah ekspresi dari kecenderungan umum yang mendikte kepekaan ekstrem terhadap segala sesuatu yang terjadi di kalangan muda. Kebusukan dan kemacetan sistem sosial sekarang ini jelas menunjukkan ketidakberpihakan para penguasanya kepada kaum muda. Para penguasa Prancis selama peristiwa Mei tidak membeda-bedakan antara mahasiswa, pegawai dan buruh muda. Mereka memperlakukan semuanya sebagai musuh.Contoh kongkret dari ini adalah insiden di Flins ketika terjadi demonstrasi besar. Setelah seorang anak sekolah dibunuh oleh polisi muncul kegelisahan besar. Polisi bergerak masuk dan mulai memerika para demonstran, memerika kartu identitas orang-orang yang lewat. Setiap orang yang berusia di bawah 30 tahun ditangkap karena dianggap potensial sebagai pemberontak, sebagai orang yang akan bergerak menghantam polisi.
Jika kita secara seksama membaca buku-buku sekarang, industri film dan bentuk-bentuk refleksi kenyataan sosial yang lain di dalam suprastruktur budaya selama lima atau sepuluh tahun terakhir, kalian akan lihat bahwa di samping semua pembicaraan yang palsu tentang kenakalan remaja, kaum borjuis telah menggambarkan jenis pemuda yang dihasilkan sistemnya dan juga semangat memberontak dari kaum muda. Ini tidak terbatas bagi mahasiswa atau kelompok minoritas seperti orang kulit hitam di Amerika Serikat. Ini juga berlaku bagi buruh-buruh muda. Kiranya perlu dipelajari apa yang ada lingkungan buruh-buruh muda karena perjuangan memenangkan mereka kepada kesadaran sosialis, kepada gagasan-gagasan revolusi sosialis kelihatannya penting bagi negeri-negeri Timur selama sepuluh sampai limabelas tahun mendatang. Jika kita berhasil mengangkat kaum muda yang terbaik menjadi nasionalis revolusioner, kita bisa yakin tentang kemajuan gerakan kita. Jika kemungkinan ini lepas dan kebanyakan orang muda berpihak ke kalangan ekstrem kanan, maka kita akan kalah dalam perjuangan yang menentukan dan akan masuk ke dalam liang kubur bersama sosialis Eropa dan gerakan revolusioner di tahun 1930-an.
Persatuan teori dan praktek juga berarti bahwa serangkaian gagasan kunci dari gerakan sosialis dan tradisi revolusioner telah ditemukan kembali sekarang. Aku tahu bahwa sebagian orang dalam gerakan mahasiswa di Indonesia ingin menciptakan sesuatu yang sama sekali baru. Aku sepenuh hati setuju dengan setiap usulan yang menginginkan sesuatu yang lebih baik, karena apa yang telah dicapai oleh generasi-generasi sebelumnya juga kurang meyakinkan dari sudut pandang pembangunan masyarakat sosialis. Tapi penting juga aku utarakan peringatan. Jika kalian menyangka sedang menciptakan sesuatu yang baru, yang sebenarnya sedang dilakukan adalah mundur ke masa lalu yang jauh lebih terbelakang dari masa lalu Marxisme.
Semua gagasan baru sebenarnya sudah sangat tua umurnya. Alasannya sangat sederhana. Kecenderungan logis dari evolusi sosial dan kecenderungan kritik sosialis dikembangkan dalam jalur para pemikir besar abad 18 dan 19. Terlepas dari kalian suka atau tidak, hal itu memang benar, dan berlaku bagi ilmu sosial sekaligus ilmu alam yang rangkaian hukumnya diciptakan di masa lalu. Jika kalian ingin mengembangkan kecenderungan baru, kalian harus maju dari landasan yang merupakan hasil terbaik dari generasi-generasi sebelumnya. Keinginan untuk senantiasa menciptakan sesuatu yang baru hanyalah satu aspek awal dari radikalisme mahasiswa. Ketika gerakan sudah berkembang menjadi besar dan bisa memobilisasi massa yang besar maka yang akan terjadi adalah sebaliknya. Saat massa mahasiswa revolusioner yang luas berjuang menemukan kembali tradisi sejarah dan akar-akar historis, Mereka seharusnya sadar bahwa mereka akan lebih kuat jika mengatakan: perjuangan kami adalah perpanjangan dari perjuangan untuk kebebasan yang dimulai 150 tahun lalu, atau bahkan 2.000 tahun lalu ketika budak-budak pertama memberontak terhadap tuannya. Ini akan jauh lebih meyakinkan daripada mengatakan: kami melakukan sesuatu yang sama sekali baru yang terputus dari sejarah dan terisolasi dari keseluruhan masa lalu seakan masa lalu tidak pernah mengajarkan apa-apa kepada kita dan tidak ada yang dapat kita pelajari dari itu.